Blogroll

Pages

Rabu, 27 Maret 2013

DEMOKRASI

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


DEMOKRASI

BAB I
PENDAHULUAN


 Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.

Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.




BAB II
ISI


v Sistem Pemilu di Indonesia :

Sistem pemilihan umum adalah  merupakan salah satu instrumen kelembagaan penting di dalam negara demokrasi. Demokrasi itu di tandai dengan 3 (tiga) syarat yakni : adanya kompetisi di dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, adanya partisipasi masyarakat, adanya jaminan hak-hak sipil dan politik. Untuk memenuhi persyaratan tersebut  diadakanlah  sistem pemilihan umum, dengan sistem ini kompetisi, partisipasi, dan jaminan hak-hak politik bisa terpenuhi dan dapat dilihat. Secara sederhana sistem politik berarti instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang di menangkan oleh partai atau calon. Sistem pemilu di bagi menjadi dua kelompok yakni :

1.      Sistem distrik ( satu daerah pemilihan memilih satu wakil )
didalanm sistem distrik satu wilayah kecil memilih satu wakil tunggal atas dasar suara terbanyak, sistem distrik memiliki variasi, yakni :
·         firs past the post : sistem yang menggunakan single memberdistrict dan pemilihan yang berpusat pada calon, pemenagnya adalah calon yang memiliki suara terbanyak.
·         the two round system : sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai landasan untuk menentukan pemenang pemilu. hal ini dilakukan untuk menghasilkan pemenang yang memperoleh suara mayoritas.
·         the alternative vote : sama seperti firs past the post bedanya para pemilih diberi otoritas untuk menentukan preverensinya melalui penentuan ranking terhadap calon-calon yang ada.
·         block vote : para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon yang terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon yang ada.

2.      Sistem proporsional ( satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil )
dalam sistem ini satu wilayah besar memilih beberapa wakil. prinsip utama di dalam sistem ini adalah adanya terjemahan capaian suara di dalam pemilu oleh peserta pemilu ke dalam alokasi kursi di lembaga perwakilan secara proporsional, sistem ini menggunakan sistem multimember districts. ada dua macam sitem di dalam sitem proporsional, yakni ;

·         list proportional representation : disini partai-partai peserta pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
·         the single transferable vote : para pemilih di beri otoritas untuk menentukan preferensinya. pemenangnya didasarkan atas penggunaan kuota.

perbedaan pokok antara sistem distrik dan proporsional adalah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.


v    Dasar Hukum Pemilu di Indonesia

Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.
Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan perlu dibentuk suatu Undang-undang tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Oleh karena itu perlu dilakukan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang ini mengatur mekanisme pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika dan moral, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik. Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam Undang-Undang ini diatur beberapa substansi penting yang signifikan antara lain mengenai persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden wajib memiliki visi, misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan selama 5 (lima) tahun ke depan. Dalam konteks penyelenggarakan sistem pemerintahan Presidensiil, menteri yang akan dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden harus mengundurkan diri pada saat didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum. Selain para Menteri, Undang-Undang ini juga mewajibkan kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasioanal Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pembrantasan Korupsi harus mengundurkan diri apabila dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Pengunduran diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan. Untuk menjaga etika penyelenggaraan pemerintahan, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota perlu meminta izin kepada Presiden pada saat dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden.
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih adalah pemimpin bangsa, bukan hanya pemimpin golongan atau kelompok tertentu saja, untuk itu, dalam rangka membangun etika pemerintahan terdapat semangat bahwa Presiden atau Wakil Presiden terpilih tidak merangkap jabatan sebagai Pimpinan Partai Politik yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing Partai politik.


v    Kelemahan Sistem Pemilu di Indonesia

1.       Sistem pemilihan presiden langsung hanya akan mempersentasikan suara dari pulau jawa.

Tidak dapat dipungkiri adanya kenyataan bahwa suara pemilih terbesar ada dipulau jawa, yang sebagian besar tentunya dihuni oleh suku bangsa jawa.Walaupun belum ada pembuktian konkrit untuk dugaan ini, logika yang mendasarinya cukup bisa diterima. Dengan begitu bisa diterima pula asumsi bahwa peluang kandidat yang berasal dari jawa untuk memenangkan pemilihan akan lebih besar dibandingkan kandidat dari suku bangsa diluar suku bangsa jawa, dan tentunya ini akan menimbulkan dampak turunan terhadap semakin mencuatnya sentimen anti jawa dari suku –suku bangsa lainya yang terutama ada diluar jawa.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, dibeberapa negara seperti Nigeria dan Kenya yang juga menghadapi persoalan pluralitas kemasyarakatan yang komplek, disusun suatu sistem pemilu yang mewajibkan sepasang kandidat untuk memperoleh dukungan lintas kelompok yang luas (crossection). Kandidat Presiden tidak hanya harus memenangkan masyoritas plural dari suara yang ada, akan tetapi secara geografis juga harus memperoleh jumlah tertentu dari suara disejumlah provinsi. Persyaratan distribusi perolehan suara secara geografis ini sekaligus menuntut para kandidat Presiden untuk melalakukan kampanye lintas regional dari daerah asal mereka sendiri atau bahkan lintas etnis. Dari praktek-praktek tersebut diharapkan timbulnya legitimasi yang lebih menyeluruh bagi setiap pemenang pemilihan Presiden.

2.       Sistem ini akan mengurangi fungsi dan peran MPR secara signifikan.

Dalam sebuah sistem pemerintahan presidentil yang menganut sistem perwakilan bikameral, fungsi MPR memang tidak akan lagi sama dengan yang ada dalam konstitusi. MPR yang terdiri dari dua kamar DPR dan DPD akan lebih terkosentrasi pada fungsi legislasi dan fungsi kontrol, yang sebenarnya bila dilihat dari luang lingkup dan jangkauan dari wewenangnya lebih baik dan lebih signifikan dalam proses penyelenggaraan negara dan pemerintahan sehari-hari. Mengenai tidak adanya lagi legitimasi MPR untuk meminta pertanggungjawaban.

3.       Sistem ini akan memperlemah kedudukan DPR.

Meningkatnya legitimasi presiden tidak berakibat langsung bagi melemahnya kedudukan DPR. Legitimasi presiden yang kuat memang merupakan satu hal yang menjadi tujuan pokok dari sistem presidensial. Namun bukan berarti DPR dan tentunya juga DPD dalam sebuah sistem perwakilan bikameral akan tetap bisa berperan dalam memberi arah dan mengawasi kinerja presiden, melalui wewenang-wewenang yang secara konstitusional dimilikinya.perubahan yang justru akan ditimbulkan adalah terciptanya kondisi yang lebih bagi pelaksanaan mekanisme checks and balances, dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, karena DPR dan DPD semakin tidak diberi peluang untuk meyalahgunakan kekuasaan yang ada padanya.




BAB III
KESIMPULAN


Secara teoritis sistem pemerintahan presidensial tidak mengenal pemerintahan koalisi. Hanya sistem parlementer dan sistem semi parlementer yang membuka peluang bagi model pemerintahan tersebut. Pada dasarnya alternatif pemerintahan koalisi merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan kebuntuan proses politik yang terjadi di parlemen sebagai akibat dari tidak adanya partai pemenang mayoritas dalam pemilihan anggota parlemen, sehingga dua atau lebih partai politik terpaksa bergabung. Untuk membentuk kabinet yang akan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Alternatif lainnya adalah pemerintahan minoritas yang merupakan suatu cara lain untuk memecah kemandegan politik atas sebab yang sama. Perbedaannya adalah pemerintahan minoritas hanya diisi oleh orang-orang berasal dari satu partai politik saja, yang pada umumnya adalah peraih suara terbanyak diantara partai-partai politik peraih suara lainnya.


Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar