PERBATASAN WILAYAH
NEGARA RI PERJANIJAN DAN PERMASALAHANNYA
Survei mengenai penetapan Titik Dasar atau Base Point telah
dilaksanakan oleh Dishidros TNI AL pada tahun 1989 hingga 1995 dengan melakukan
Survei Base Point sebanyak 20 kali dalam bentuk survei hidro-oseanografi.
Titik-titik Dasar tersebut kemudian diverifikasi oleh Bakosurtanal pada tahun
1995-1997.
Pada tahun 2002,
Pemerintah RI menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002, tentang
“Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia”, di
mana di dalamnya tercantum 183 Titik Dasar perbatasan wilayah RI. Namun
demikian, terlepas dari telah diterbitkannya PP 38 Tahun 2002, telah terjadi
perubahan-perubahan yang tentunya mempengaruhi konstelasi perbatasan RI dengan
negara tetangga seperti Timor Leste pasca referendum dan status Pulau
Sipadan-Ligitan pasca keputusan Mahkamah Internasional.
Di samping itu, patut pula dipertimbangkan untuk melakukan
penge-cekan ulang terhadap pilar-pilar yang dibuat pada saat Survei
Base
Point
yang dilakukan pada sekitar 10 tahun lalu. Monumentasi ini perlu dilakukan
sebagai bukti fisik kegiatan penetapan yang telah dilakukan serta menjadi
referensi bila perlu dilakukan survei kembali di masa mendatang.
Hingga saat ini terdapat beberapa permasalahan perbatasan antara
Indonesia dengan negara tetangga yang masih belum diselesaikan secara tuntas.
Permasalahan perbatasan tersebut tidak hanya menyangkut batas fisik yang telah
disepakati namun juga menyangkut cara hidup masyarakat di daerah tersebut,
misalnya para nelayan tradisional atau kegiatan lain di sekitar wilayah
perbatasan.
RI – Malaysia
Kesepakatan yang sudah ada antara Indonesia dengan Malaysia di
wilayah perbatasan adalah garis batas Landas Kontinen di Selat Malaka dan Laut
Natuna berdasarkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Kerajaan Malaysia tentang pene-tapan garis batas landas kontinen
antara kedua negara (Agreement Between Government of the Republic Indonesia and
Government Malaysia relating to the delimitation of the continental shelves between
the two countries), tanggal 27 Oktober 1969 dan diratifikasi dengan
Keppres Nomor 89 Tahun 1969.
Berikutnya adalah Penetapan Garis Batas Laut Wilayah RI – Malaysia
di Selat Malaka pada tanggal 17 Maret 1970 di Jakarta dan diratifikasi dengan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1971 tanggal 10 Maret 1971. Namun
untuk garis batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) di Selat Malaka dan Laut China
Selatan antara kedua negara belum ada kesepakatan.
Batas laut teritorial Malaysia di Selat Singapura terdapat
masalah, yaitu di sebelah Timur Selat Singapura, hal ini mengenai kepemilikan
Karang Horsburgh (Batu Puteh) antara Malaysia dan Singapura. Karang ini
terletak di tengah antara Pulau Bintan dengan Johor Timur, dengan jarak kurang
lebih 11 mil. Jika Karang Horsburg ini menjadi milik Malaysia maka jarak antara
karang tersebut dengan Pulau Bintan kurang lebih 3,3 mil dari Pulau Bintan.
Perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimatan Timur (perairan
Pulau Sebatik dan sekitarnya) dan Perairan Selat Malaka bagian Selatan, hingga
saat ini masih dalam proses perundingan. Pada segmen di Laut Sulawesi,
Indonesia menghendaki perundingan batas laut teritorial terlebih dulu
baru kemudian merundingkan ZEE dan Landas Kontinen. Pihak Malaysia berpendapat
perundingan batas maritim harus dilakukan dalam satu paket, yaitu menentukan
batas laut teritorial, Zona Tambahan, ZEE dan Landas Kontinen.
Sementara pada segmen Selat Malaka bagian Selatan, Indonesia dan
Malaysia masih sebatas tukar-menukar peta illustrasi batas laut teritorial kedua
negara.
RI – Thailand
Indonesia dan Thailand telah mengadakan perjanjian landas kontinen
di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971, perjanjian tersebut telah
diratifikasi dengan Keppres Nomor 21 Tahun 1972. Perjanjian perbatasan tersebut
merupakan batas landas kontinen di Utara Selat Malaka dan Laut Andaman.
Selain itu juga telah dilaksanakan perjanjian batas landas
kontinen antara tiga negara yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia yang
diadakan di Kuala Lumpur pada tanggal 21 Desember 1971. Perjanjian ini telah
diratifikasi dengan Keppres Nomor 20 Tahun 1972.
Perbatasan antara Indonesia dengan Thailand yang belum
diselesaikan khususnya adalah perjanjian ZEE.
RI – India
Indonesia dan India telah mengadakan perjanjian batas landas
kontinen di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1974 dan telah diratifikasi dengan
Keppres Nomor 51 Tahun 1974 yang meliputi perbatasan antara Pulau Sumatera
dengan Nicobar.
Selanjutnya dilakukan perjanjian perpanjangan batas landas
kontinen di New Dehli pada tanggal 14 Januari 1977 dan diratifikasi dengan
Keppres Nomor 26 Tahun 1977 yang meliputi Laut Andaman dan Samudera Hindia.
Perbatasan tiga negara, Indonesia-India- Thailand juga telah
diselesaikan, terutama batas landas kontinen di daerah barat laut sekitar Pulau
Nicobar dan Andaman. Perjanjian dilaksankaan di New Delhi pada tanggal 22 Juni
1978 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 25 Tahun 1978. Namun demikian kedua
negara belum membuat perjanjian perbatasan ZEE.
RI – Singapura
Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan Singapura
telah dilaksanakan mulai tahun 1973 yang menetapkan 6 titik koordinat sebagai
batas kedua negara. Perjanjian tersebut kemudian diratifikasi dengan
Undang-undang Nomor 7 tahun 1973.
Permasalahan yang muncul adalah belum adanya perjanjian batas laut
teritorial bagian timur dan barat di Selat Singapura. Hal ini akan menimbulkan
kerawanan, karena Singapura melakukan kegiatan reklamasi wilayah daratannya.
Reklamasi tersebut mengakibatkan wilayah Si-ngapura bertambah ke selatan atau
ke Wilayah Indonesia.
Penentuan batas maritim di sebelah Barat dan Timur Selat Singapura
memerlukan perjanjian tiga negara antara Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Perundingan perbatasan kedua negara pada Segmen Timur, terakhir dilaksanakan
pada 8-9 Februari 2012 di Bali (perundingan ke-2).
RI – Vietnam
Perbatasan Indonesia – Vietnam di Laut China Selatan telah dicapai
kesepakatan, terutama batas landas kontinen pada tanggal 26 Juni 2002. Akan
tetapi perjanjian perbatasan tersebut belum diratifikasi oleh Indonesia.
Selanjutnya Indonesia dan Vietnam perlu membuat perjanjian perbatasan ZEE di
Laut China Selatan. Perundingan perbatasan kedua negara terakhir dilaksanakan
pada 25-28 Juli 2011 di Hanoi (perundingan ke-3).
RI – Philipina
Perundingan RI – Philipina sudah berlangsung 6 kali yang
dilaksanakan secara bergantian setiap 3 – 4 bulan sekali. Dalam
perundingan di Manado tahun 2004, Philipina sudah tidak mempermasalahkan lagi
status Pulau Miangas, dan sepenuhnya mengakui sebagai milik Indonesia.
Hasil perundingan terakhir penentuan garis batas maritim
Indonesia-Philipina dilakukan pada bulan Desember 2005 di Batam. Indonesia
menggunakan metode proportionality dengan memperhitungkan lenght of
coastline/ baseline kedua negara, sedangkan Philipina memakai
metode median
line. Untuk itu dalam perundingan yang akan datang kedua negara
sepakat membentuk Technical Sub-Working Group untuk membicarakan secara
teknis opsi-opsi yang akan diambil.
RI – Palau
Perbatasan Indonesia dengan Palau terletak di sebelah utara Papua.
Palau telah menerbitkan peta yang menggambarkan rencana batas “Zona
Perikanan/ZEE” yang diduga melampaui batas yurisdiksi wilayah Indonesia.
Hal ini terbukti dengan banyaknya nelayan Indonesia yang melanggar wilayah
perikanan Palau. Permasalahan ini timbul karena jarak antara Palau dengan
Wilayah Indonesia kurang dari 400 mil sehingga ada daerah yang overlapping
untuk ZEE dan Landas Kontinen. Perundingan perbatasan kedua negara terakhir
dilaksanakan pada 29 Februari - 1 Maret 2012 di Manila (perundingan ke-3).
RI – Papua New Guinea
Perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea telah ditetapkan
sejak 22 Mei 1885, yaitu pada meridian 141 bujur timur, dari pantai utara
sampai selatan Papua. Perjanjian itu dilanjutkan antara Belanda-Ing-gris pada
tahun 1895 dan antara Indonesia-Papua New Guinea pada tahun 1973, ditetapkan
bahwa perbatasan dimulai dari pantai utara sampai dengan Sungai Fly pada
meridian 141° 00’ 00” bujur timur, mengikuti Sungai Fly dan batas tersebut
berlanjut pada meridian 141° 01’ 10” bujur timur sampai pantai selatan Papua.
Permasalahan yang timbul telah dapat diatasi yaitu pelintas batas,
penegasan garis batas dan lainnya, melalui pertemuan rutin antara delegasi
kedua negara. Masalah yang perlu diselesaikan adalah batas ZEE sebagai
kelanjutan dari batas darat.
RI – Australia
Perjanjian Batas Landas Kontinen antara Indonesia-Australia yang
dibuat pada 9 Oktober 1972 tidak mencakup gap sepanjang 130 mil di selatan
Timor Leste. Perbatasan Landas Kontinen dan ZEE yang lain, yaitu menyangkut
Pulau Ashmore dan Cartier serta Pulau Christmas telah disepakati dan telah
ditandatangani oleh kedua negara pada tanggal 14 Maret 1997, sehingga praktis
tidak ada masalah lagi. Mengenai batas maritim antara Indonesia – Australia
telah dicapai kesepakatan yang ditandatangani pada 1969, 1972 dan terakhir
1997.
RI – Timor Leste
Perundingan batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste belum
pernah dilakukan, karena Indonesia menghendaki penyelesaian batas darat
terlebih dahulu baru dilakukan perundingan batas maritim. Dengan belum
selesainya batas maritim kedua negara maka diperlukan langkah-langkah
terpadu untuk segera mengadakan pertemuan guna membahas masalah perbatasan
maritim kedua negara.
KESIMPULAN:
Permasalahan yang akan sulit
disepakati adalah adanya kantong (enclave) Oekusi
di Timor Barat. Selain itu juga adanya entry/exit point Alur Laut Kepulauan
Indonesia III A dan III B tepat di utara wilayah Timor Leste.
SUMBER: http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/183-diplomasi-februari-2013/1598-permasalahan-di-perbatasan-ri.html
0 komentar:
Posting Komentar